Kebunku yang Kritis

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumberdaya alam. Terutama rempah dan perkebunan. Begitu banyak perkebunan kopi, teh, kakao, kelapa sawit atau pun tanaman yang lain. Tapi coba kita lihat dari sisi lain kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan khususnya. Dapat dipastikan hampir 90% masyarakat skitar merupakan warga miskin. Bukan karena hanya akses ekonomi yang cukup terpencil, tetapi hal ini berkaitan dengan kepemilikan lahan.

Sebagai seorang petani, idealnya mempunyai lahan yang digarap. Kalu kita mau jujur melihat kebenaran, sesuai dengan Undang-undang agrikultur tahun 2001, setiap petani akan diberikan lahan garap seluas masing-masing 2 hektare. Namun pada kenyataannya, sampai sekarang belum ada satu petani pun yang mendapatkan haknya itu. Lantaran pengetahuan petani yang mengerti tentang aturan ini juga hampir tidak ada.

Kilas balik ke beberapa tahun lalu, pada jaman orde baru. Banyak isu MARGAI alias PKI. Ketika itu seelah nasionalisasi perkebunan dan pertanian peninggalan belanda,penguasaan perkebunan dan lahan pertanian di bagi-bagi antara pihak swasta dan negara. Sedangkan rakyat yang asli ada dan mengelaola sebagai petani diusir secara paksa. Jika tidak mau dan melawan maka istilah PKI di-plot-kan pada mereka dan tembak mati-lah ganjarannya. Selanjutnya pada tahun 1998 saat Revormasi yang seolah merupak luapan kemarahan rakyat oede baru memuncak. Muncullah berbagi tindakan tindakan out of control seperti demo, penjarahan, dan lain sebagainya. Dan salah satunya adalah penjarahan hutan besar-besaran.

Namun masyarakat pinggir hutan lagi-lagi menjadi kambing hitam. Mereka dituduh menggunduli hutan hingga menyebabkan berbagai bencana tanah longsor dan banjir bandang yang ramai terjadi di tahun 2006-2007. Namun jika kita logika, mana mungkin para petani miskin itu menggunduli hutan dengan mengangkut kayu gelondongan dengan truk-truk besar. Mungkin saja mereka memang mengambil hasil hutan tersebut, tetapi jumlahnya hanmya sedikit dan kepentingannya hanya untuk sekedar memenuhi suara perut. Tapi truk-truk yang entah milik siapa itu-lah yang sebenarnya menggunduli hutan.

Praktek-praktek ini sampai saat ini masih saja terjadi. Penggunaan tanah, air dan seluruh hasil bumi sudah tidak untuk kepentingan rakyat lagi. Tentunya ini sudah bertentangan dengan UUD'45. Misalnya, berdasarkan sumber dari sebuah LSM di jember, kontribusi hasil kopi dari perkebunan daerah hanya 2 ons per pohon pada kas daerah, dan terkadang pemasukan itu tidak ditulis di pemasukan daerah. Betapa sangat menyedihkannya saat ternyata 90% hasil bumi kita dinikmati oleh pihak asing. Sampai kapankah kita akan seperti ini. Adakah yang mau berjuang untuk ini...